I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Masalah
Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia
hakikatnya bukan hanya merupakan suatu hasil perenungan atau pemikiran
seseorang atau kelompok orang sebagaimana ideologi-ideologi lain di dunia.
Namun Pancasila diangkat dari nilai-nilai adat istiadat, nilai-nilai kebudayaan
serta nilai religius yang terdapat dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia.
Unsur-unsur dalam Pancasila tidak lain diangkat dari pandangan hidup masyarakat
Indonesia sendiri, sehingga bangsa ini merupakan sumber utama Pancasila.
Sebagai ideologi, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila
selalu tercermin dalam sendi-sendi kehidupan bangsa Indonesia. Karena ideologi
tersebut terlahir dari bangsa kita sendiri. Pertanyaan yang muncul selanjutnya,
sudahkah nilai-nilai Pancasila tersebut menjadi landasan sikap dan prilaku yang
utuh dalam masyarakat kita ?. Tentu masing-masing individu kita yang merupakan
bagian dari masyarakat mampu menjawab pertanyaan ini.
Banyak pristiwa di negeri ini yang sangat miris
dipandangan mata. Begitu gencarnya media massa memberitakan tindakan kriminal.
Tidak hanya orang dewasa sebagai pelaku, bahkan anak di bawah umurpun bisa
menjadi aktornya. Tauran antar pelajar tidak terbendung lagi terjadi dimana-mana.
Tindakan asusila menjadi info hangat dikalangan masyarakat kita. Berbagai kasus
hukum seperti korupsi selalu menghias di layar kaca, telah menghinggapi kaum
elit bangsa kita. Masih banyak lagi gambaran negatif yang terjadi, termasuk
adanya pergolakan disintegrasi bangsa di beberapa daerah. Jika direnungkan
lebih jauh semua yang terjadi tersebut mengambarkan bahwa bangsa ini semakin
jauh dari nilai-nilai Pancasila yang merupakan ideologi bangsa.
Pendidikan diharapkan sebagai
wadah yang pas untuk penanaman ideologi Pancasila ternyata belum signifikan
memberikan pengaruh. Saat ini sepertinya Pancasila tidak lagi menjadi bagian
penting dalam proses pendidikan. Bisa dilihat dari kurikulum yang ada, Pancasila
hanya menjadi bagian kecil dari kurikulum yang telah disusun. Kurikulum 2004
yang disebut sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi atau KBK telah menghilangkan
kata ”Pancasila” dari PPKn, tinggal menjadi PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan, tanpa menyebut Pancasila
lagi. Begitu pula dengan kurikulum KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
tahun 2006, yang dalam struktur programnya, tidak ada lagi kata Pancasila, (http://sayidiman.suryohadiprojo.com).
Lemahnya sistem
pendidikan nasional dalam mengakomodir pendidikan Pancasila lewat kebijakan
kurikulum berdampak pada lemahnya sistem pendidikan Pancasila. Pendidikan Pancasila selama ini hanya bersifat teori, sehingga berupa
paket pengetahuan. Paket pengetahuan tersebut diajarkan kepada peserta didik
dengan bahan ajar dilengkapi perangkat evaluasinya. Ironisnya pendidikan
Pancasila tersebut sebatas teori padahal nilai-nilai yang terkandung semestinya
menjadi perilaku keseharian. Lingkunganpun tidak mendukung penerapan ideologi Pancasila dalam kehidupan
sehari, permasalahnnya adalah lemahnya suritauladan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana implikasi Pancasila sebagai landasan filosofis
pendidikan nasional ?
2.
Bagaimana penerapan nilai-nilai Pancasila
sebagai ideologi dalam kehidupan sehari-hari ?
3.
Bagaimana konsep pendidikan Pancasila yang
diterapkan selama ini ?
1.3 Tujuan
1.
Mengetahui implikasi Pancasila sebagai landasan filosofis
pendidikan nasional ?
2.
Mengetahui bagaimana penerapan nilai-nilai
Pancasila sebagai ideologi dalam kehidupan sehari-hari ?
3.
Mempelajari konsep pendidikan Pancasila yang
diterapkan selama ini ?
II PEMBAHASAN
2.1 Pancasila sebagai Landasan Pendidikan
Atas
dasar filsafat atau pandangan hidupnya yaitu Pancasila, bangsa Indonesia
meiliki filsafat pendidikan tersendiri. Pancasila merupakan landasan filosofis
pendidikan nasional, sebagaimana yang tersurat dan tersirat dalam UUD 1945. Filsafat
Pancasila merupakan asumsi-asumsi
pendidikan nasional yang dideduksi dari filsafat Pancasila, (Wahyudin, D,
2009). Selanjutnya dipertegas dengan
pernyataan, asumsi-asumsi yang dimaksud adalah metafisika, epistemologi dan
aksiologi Pancasila serta implikasinya terhadap pendidikan.
2.1.1
Metafisika (Hakekat Realitas)
Sebagaimana
kita yakini, realitas atau alam semesta tidaklah ada dengan sendirinya,
melainkan sebagai ciptaan (mahluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah sumber
pertama dari segala yang ada, Ia adalah sebab pertama dari segala yang ada,
tetapi Ia tidak disebabkan oleh sebab, tetapi Ia tidak disebabkan oleh
sebab-sebab lainnya dan Ia juga adalah tujuan akhir segal yang ada. Manusia
hakekatnya adalah mahluk ciptaan Tuhan yang berinterkasi dengan lingkungan. Manusia
diciptakan di dunia ini sebagai khalifah atau pemimpin dengan segala esensinya.
Berkaitan dengan asumsi ini, maka Pancasila menganut beberapa asas menurut BP-7
Pusat, 1995, dalam (Wahyudin, D,
2009).
1.
Asas Ketuhanan Yang Maha Esa (aspek religius).
2.
Asas mono dualisme (kesatuan badan-rohani).
3.
Asas mono pluralisme (keragaman manusia)
4.
Asas nasionalisme (rasa cinta terhadap tanah air)
5.
Asas internasionalisme (manusia Indonesia mengakui bangsa
lain)
6.
Asas demokrasi (kesamaan hak dan kewajiban)
7.
Asas keadilan sosial (menjunjung
tinggi kepentingan bersama)
2.1.2
Epistemologi (Hakikat Pengetahuan)
Asumsi
ini menggambarkan segala pengetahuan bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran
pengetahuan ada yang bersifat mutlak yaitu ajaran agama yang diurunkan lewat wahyu. Pengetahuan yang
bersifat relatif (filsafat, sains)
diuji kebenarannya atas dasar kontradiksi tidaknya dengan kebenaran mutlak,
konsisten logis idenya, kesesuaian dengan data atau fakta empiris dan nilai
kegunaannya baik kesejahteraan hidup dan kehidupan.
2.1.3
Aksiologi (Hakekat Nilai)
Sumber
segala nilai hakikatnya adalah Tuhan Yang Maha Esa. Oleh karena manusia adalah
mahluk Tuhan, insan pribadi/individu sekaligus insan sosial maka hakikat nilai
diturunkan dari Tuhan Yang Maha Esa, masyarakat dan individu. Nilai-nilai
individual dan nilai-nilai sosial tidak satu sama lain dan juga kedua-duanya
tidak boleh bertentangan dari Tuhan (nilai-nilai agama) sesuai keyakinan agama masing-masing.
Ketiga
asumsi di atas yaitu metafisika, epistemologi dan aksiologi Pancasila menjadi
landasan filosofis pendidikan nasional. Landasan pendidikan dapat bermakna
titik tolak, pijakan atau dasar dalam pelaksanaan pendidikan. Pancasila sebagai
landasan filosofis pendidikan nasional
menjadi dasar dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Sebagaimana yang
dipaparkan oleh Wahyudin, D, (2009), asumsi-asumsi filosofi Pancasila mengimplikasi
terhadap pendidikan nasional yang meliputi tujuan pendidikan, isi atau
kurikulum pendidikan, metode pendidikan dan peran pendidik serta peserta didik.
1.
Tujuan pendidikan, pendidikan bertujuan untuk berkembangnya
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman
dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahlak mulia, sehat, berilmu
cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab, (UU Sisdiknas tahun 2003).
2.
Kurikulum pendidikan, kurikulum disusun sesuai jenjang
pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan
memperhatikan peningkatan iman dan taqwa, peningkatan ahklak mulia, potensi,
kecerdasan, dan minat pembangunan daerah dan nasional, tuntutan dunia kerja,
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni, agama, dinamika perkembangan
global serta persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan.
3.
Metode pendidikan, berbagai metode pendidikan yang ada
merupakan alternatif untuk diaflikasikan.
4.
Pernanan pendidik dan peserta didik, hal ini tersurat dan
tersirat dalam semboyan ing ngarso sung tu lodo, ing madyo mangun karso dan tut
wuri handayani.
2.2 Pancasila dan Fakta
Pancasila sebelum dirumuskan menjadi dasar
negara dan ideologi negara, nilai-nilainya telah terdapat pada bangsa Indonesia
dalam adat istiadat, budaya serta dalam agama-agama sebagai pandangan hidup
masyarakat Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu
kristalisasi dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka
pandangan hidup tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup
Pancasila berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat.
Ideologi menurut ahli merupakan kumpulan ide atau gagasan atau aqidah 'aqliyyah (akidah yang sampai
melalui proses berpikir) yang melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan, (www.wikipidea.com). Ideologi
bangsa Indonesia adalah Pancasila yang merupakan hasil dari kristalisasi dari
nilai-nilai yang kehidupan masyarakat. Namun kenyataan ideologi Pancasila yang
dimiliki sejak lama belum menjadi sebuah karakter. Karakter
berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk
perilaku anak itulah yang disebut karakter. Jadi suatu karakter melekat dengan
nilai dari perilaku tersebut, (Kesuma. D dkk, 2011).
Ary Ginanjar
Agustin berpendapat dalam Kesuma. D
dkk, (2011) secara umum kondisi bangsa yang dirasakan saat ini berbeda dengan
apa yang menjadi karakteristik bangsa. Selanjutnya dikatakan, kini yang utama bukanlah budi. Karena itu bangsa
Indonesia mengalami krisis yang luar biasa karena yang utama pada bangsa ini
adalah kekuasaan, harata dan jabatan.
Sementara itu budi, moral, etika, akhlak tidak lagi dinomorsatukan.
Pernyatan ini berkorelasi positif dengan kondisi bangsa Indonesia saat ini. Kondisi moral bangsa ini sangat memprihatinkan.
Hal ini ditandai dengan seks bebas, narkoba, minuman kera, korupsi, rekayasa
kriminal dan masih banyak perilaku negatif yang mengindikasikan penyimpangan
atas ideologi Pancasila. Ada apa dengan bangsa ini ? adakah yang salah ?.
Jika demikian faktanya,
ideologi Pancasila yang seharusnya menjadi karakter bangsa malah bertentangan
dengan prilaku yang ditujukan masyarakat dalam keseharian. Maka upaya
pengkarakteran ideologi Pancasila patut menjadi pehatian serius ditengah
hilangnya jati diri bangsa saat ini.
Pengkarakteran
Pancasila lewat pendidikan merupakan upaya untuk menjadikan Pancasila sebagai
karakter bangsa. Kenyataannya upaya ini tidak semudah apa yang dibayangkan.
Boleh dikatakan upaya pendidikan dalam pengkarakteran
Pancasila sejak dini belum membekas pada peserta didik. Upaya
pengkarakteran Pancasila dalam dunia pendidikan lebih dikenal dengan pendidikan
Pancasila. Pendidikan Pancasila sebenarnya telah lama berjalan semenjak
lahirnya Pancasila. Pendidikan Pancasila mengalami pasang
surut mengkuti kebijakan pemerintah saat itu.
2.3 Konsep Pendidikan Pancasila
2.3.1 Trend
Kurikulum Pendidikan Pancasila
Pada Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) tahun 1973, memang telah dicanangkan agar pembentukan mental dan
moral Pancasila dimasukkan kedalam kurikulum dan menjadi bagian integral dari
pendidikan nasional. Dengan amanat konstitusi ini, karena GBHN adalah produk
legislatif oleh MPR, maka dengan sertamerta dimulailah masa kejayaan Pendidikan
Pancasila dalam sistem kurikulum kita.
Apalagi dengan datangnya era
Ekaprasetya Pancakarsa pada tahun 1978 atau yang terkenal dengan P-4, yakni
Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila, dan dibentuknya BP-7, sebuah
lembaga negara yang mengelola penataran P-4 tadi. Kurikulum 1975, yang telah
mencantumkan Pancasila seperti telah diawali pada kurikulum 1968, segera
disesuaikan dengan konsep Ekaprasetya Pancakarsa yang dicanangkan dalam tahun
1978 tersebut. Perombakan penting segera terjadi terhadap Pendidikan Moral
Pancasila (PMP). Mata pelajaran itu menjadi lebih kokoh berdiri sendiri dalam
struktur program kuriulum dalam semua jenjang sekolah.
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan pada waktu itu telah luar biasa disibukkannya dalam manajemen PMP
ini. Mulai dari seleksi buku pelajaran yang berduyun-duyun mendatanginya serta
para pengarang dan penerbit, penataran guru PMP di seluruh pelosok tanah air
serta mencetak bahan-bahannyaa, simulasi untuk menemukan metodologi yang pas,
teknik evaluasi dan lain-lain lagi. Entah berapa banyak uang yang terpakai untuk
ini. disamping penataran P-4 sendiri oleh BP-7 yang diberlakukan untuk seluruh
birokrasi, aparatur negara, politisi dan lapisan masyarakat tertentu seperti
perkumpulan-perkumpulan profesi dan sebagainya.
Dalam kurikulum 1994,
Pendidikan Pancasila mengalami perubahan. Karena terlalu ”dipaksakan” untuk
berdiri sendiri dalam kurikulum 1975 maka Pendidikan Moral Pancasila tadi
direduksi posisinya. Dari mata pelajaran yang berdiri sendiri, Pendidikan
Pancasila lalu digabung dalam mata pelajaran PPKn, singkatan dari Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan. Pendidikan Pancasila diintegrasikan sebagai
pengetahuan untuk mempertebal semangat dan jiwa kebangsaan melalui ilmu
kewarganegaraan. Datangnya era reformasi pada tahun 1998 disusul dengan
dibubarkannya BP-7 dan P-4, mempercepat hilangnya Pendidikan Pancasila dari
struktur kurikulum.
Kurikulum 2004 yang disebut
sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi atau K.B.K telah menghilangkan kata
”Pancasila” dari PPKn, tinggal menjadi PKn atau Pendidikan Kewarganegaraan,
tanpa menyebut Pancasila lagi. Begitu pula dengan kurikulum KTSP (singkatan
dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) tahun 2006, yang dalam struktur
porgramnya, tidak ada lagi kata Pancasila.
Kalau
dalam kurikulum 1994 dahulu Pancasila masih dapat ”kapling” dalam mata
pelajaran PPKn, maka dalam kurikulum KBK tahun 2004 yang kemudian disusul
dengan KTSP yang baru dilansir tahun 2006 yang lalu, Pendidikan Pancasila tidak
lagi disebut Alasan modifikasi ini, barangkali, untuk menjadi warganegara yang
baik cukup dengan mengajarkan PKn, dimana Pancasila sudah implisit ada disitu,
(http://sayidiman.suryohadiprojo.com).
Menurut Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
akatif mengembangkan potensi dirinya, masyarakat bangsa dan negara. Seiring
dengan itu, Syah. M, (2010) menyatakan bahwa pendidikan menurut
kamus besar bahasa Indonesia ialah pengubahan sikap dan tata laku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran
dan pelatihan. Berdasarkan penjelasan di atas, maka
pendidikan Pancasila dapat dimaknai sebagai upaya secara sadar dan terencana
dalam mendewasakan atau mengubah perilaku peserta didik untuk memahami serta
mewujudkan nilai-nilai Pancasila dalam kehiduan sehari-hari.
Pendidikan Pancasila yang telah diterapkan
selama ini tidak berdampak pada pembentukan karakter bangsa. Letak kelemahannya
adalah pada komitmen yang tidak berpijak pada ideologi Pancasila itu sendiri. Manusia
menurut pandangan Pancasila adalah sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa,
makhluk individual dan sekaligus sosial, dan dari ketiga potensi tersebut
merupakan satu kesatuan yang utuh sebagai subtansi manusia Indonesia dari wujud
jasmani dan rohaninya, (http://sayidiman.suryohadiprojo.com).
Pancasila menghargai terhadap nilai-nilai dan
hak-hak pribadi (individual), selama nilai-nilai tadi tidak bertentangan dengan
kepentingan masyarakat atau negara. Pancasila juga tidak mengutamakan
nilai-nilai masyarakat atau golongan, apabila nilai-nilai itu bertentangan
dengan nilai-nilai martabat kemanusiaan secara hakiki maupun secara yuridis.
Pancasila lebih mendukung terhadap nilai-nilai individual yang memberikan
kemaslahatan bagi kehidupan bermasyarakat, dan nilai-nilai kemasyarakatan yang
mendukung terhadap perbaikan nilai/mutu kehidupan para anggotanya dan
masyarakat sebagai kesatuan, (http://sayidiman.suryohadiprojo.com).
Pancasila mengandung nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan. Nilai-nilai ini sangat kontras
dengan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Begitu banyak perilaku maupun
sikap yang bertentangan dengan
nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Hal ini menunjukan suatu
kegagalan dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila (pengkarakteran ideologi
Pancasiala dalam kehidupan sehari-hari) yang sebenarnya ideologi murni bangsa
Indonesia. Kelemahan dalam pengkarakteran ideologi Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari terletak pada lemahnya jalur pendidikan dan tidak ada ketauladanan.
2.3.2 Pendidikan Pancasila sebagai Upaya Pengkarakteran Ideologi
Pancasila dalam Kehidupan
Pancasila diajarkan sebagai
”pengetahuan”, yang seharusnya dicontohkan sebagai ”keteladanan” tentang
perilaku, sikap dan nilai-nila kehidupan sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa.
Tetapi siapa yang akan menjadi teladan, kalau perilaku tokoh elite yang harus
di teladani hanya seperti sekarang ini? Apakah Pancasila hanya akan menjadi
rhetorika belaka, karena sulitnya dijumpai keteladanan dalam perilaku kita?
Kemana akan mencari tokoh panutan bahkan setelah melewati era P-4 dan PMP, (http://sayidiman.suryohadiprojo.com).
Pendidikan
merupakan wadah yang ideal dalam menanamkan ideologi Pancasila. Melalui
pendidikan, manusia “peserta didik”
dikondisikan untuk bisa menerima pelajaran tentang Pancasila. Pendidikan mampu
membentuk kepribadian seseorang sesuai dengan apa yang diharapkan dalam hal ini
adalah penaman nilai-nilai Pancasia. Tirtaraharja. U dan La Sulo. S, (2005),
berpendapat pendidikan sebagai suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik
terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Sehingga pendidikan
diharapkan dapat membentuk kepribadian peserta didik yang menjadikan ideologi
Pancasila sebagai pribadi atau karakter mereka.
Atas
dasar pentingnya jalur pendidikan dalam proses pengkarakteran ideologi Pancasila
terhadap peserta didik, maka dimasukkanlah pendidikan Pancasila dalam proses
pendidikan di sekolah. Awal masuk sekolah menengah baik Sekolah Menengah
Pertama (SMP) maupun Sekolah Menengah Atas (SMA) peserta didik dikenalkan
Pancasila lewat penataran P4. Tidak hanya itu, setelah peserta didik mulai
masuk masa aktif sekolah Panscasila diajarkan dalam bentuk mata pelajaran. Saat
trend pendidikan berbasis KBK pelajaran PMP menjadi PPKn. Ketika trend KTSP,
maka PPKn menjadi mata pelajaran PKn. Hakekatnya prubahan trend kurikulum
tersebut yang berdampak pada trend pengajaran Pancasila pada proses pendidikan.
Lambat laun perubahan trend kurikulum tersebut semakin menggeser kapasitas
pengajaran Pancasila yang semakin lama semakin mendapat porsi yang sedikit.
Upaya
pengkarakteran ideologi Pancasila sejak dini lewat pendidikan pada kenyataannya
bisa dikatakan setengah-setengah. Kurikulum yang dikembangkan pada dunia
pendidikan di Indonesia terus memarjinalkan Pancasila. Selain itu, jika
dihubungkan dengan tujuan pembelajaaran yang dijelaskan Bloom dalam
taksonominya, ternyata Pancasila hanya menyentuh ranah kognitif. Menurut Bloom
ranah kognitif, berisi perilaku-perilaku yang menekankan aspek intelektual,
seperti pengetahuan, pengertian, dan keterampilan berpikir. Mudahnya, bahwa pengajaran Pancasila pada
dunia pendidikan selama ini hanya bersifat teori. Padahal pengkarakteran
ideologi Pancasila tidak cukup hanya teori, tapi yang terpenting adalah
bagaimana mempraktekannya dalam kegidupan sehari-hari. Jadi selain ranah
kognitif, Pancasila akan menjadi karakter bangsa jika pendidikan Pancasila
menyentuh ranah avektif maupun psikomotorik.
2.3.2 Kurangnya Suritauladan
Menanamkan
nilai-nilai positif seperti ideologi pancasila dalam kehidupan sehari-hari
perlu sebuah keteladanan. Tanpa keteladanan, mustahil sebuah gagasan positif
berupa pengetahuan tentang budi pekerti dapat diwujudkan dalam praktek nyata.
Demikian halnya ideologi Pancasila yang merupakan kepribadi bangsa Indonesia
ternyata tidak berimplikasi dalam kehidupan sehari-hari dalam wujud karakter. Meskipun hal ini tidak bisa digeneralkan, bahwa secara umum
nilai-nilai Pancasila belum tercermin dalam kehidupan rakyat indonesia. Secara
objektif kita tetap bisa melihat
beberapa contoh tentang penerapan nilai Pancasila.
Seperti
dijelaskan pada bab sebelumnya, terjadinya berbagai tindakan kriminal seperti
perampokan, pencurian, tawuran, pergaulan bebas, pelanggaran aturan sekolah dan
sebagainya merupkan gejala penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila. Aliran empiris mengatakan, faktor bawaan dari
orang tua tidak terlalu penting, pengalaman diperoleh anak melalui hubungan
dengan lingkungan sosial, alam dan
budaya), (Syah, M, 2010). Artinya lingkungan berperan besar dalam
membentuk karakter seseorang. Secara tidak sadar ataupun sadar berbagai
perilaku negatif di sekeliling kita akan menghipnotis dan menggiring dalam membentuk karakter seseorang. Bangsa ini perlu
tauladan sebagai panutan dalam penerapan nilai-nilai Pancasila.
Tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 2 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan GBHN1993 adalah menghasilkan manusia yang berkualitas yang dapat
dideskripsikan sebagai berikut : beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berbudi pekerti luhur, berkepribadian, mandiri, maju, tangguh, cerdas,
kreatif, terampil, berdisiplin, beretos kerja, profesional, bertanggung jawab,
dan produktif serta sehat jasmani dan rohani, berjiwa patriotik, cinta tanah
air, mempunyai semangat kebangsaan, kesetiakawanan sosial, kesadaran pada
sejarah bangsa, menghargai jasa pahlawan, dan berorientasi pada masa depan.
Seiring dengan tujuan pendidikan nasional, Tirtaraharja. U dan La Sulo. S, (2005), menyatakan bahwa
pembanguan nasional termasuk pendidikan adalah pengamalan Pancasila dan untuk
itu pendidikan nasional mengusahakan pembentukan manusia Pancasila. Tujuan
pendidikan yang telah dirumuskan terkait menjadikan manusia Pancasila
berpedoman pada lima sila yang kemudian dijabarkan menjadi 36 butir-butir
nilai.
1.
Sila Ketuhanan Yang Maha
Esa dan Pendidikan
Sila Ketuhanan Yang
Maha Esa mengandung nilai-nilai religi terkait keimanan seseorang dan adanya
nilai-nilai toleransi. Nilai religi merupakan nilai hakiki yang dimiliki
manusia sehubungan dengan potensi individu masing-masing. Semenjak belum
mengenal agama, manusia sebenarnya percaya ada kekuatan lain diluar mereka yang
mengendalikan kehidupan di alam ini. Setelah mengenal agama maka manusia menjadikan
agama sebagai kebutuhan. Oleh karena itu
dimensi agama merupakan unsur utama yang mendasari seluruh aspek kehidupan. Sehingga
dengan dasar agama yang baik maka akan mempengaruhi nilai-nilai yang lain
terkait dengan pengamalan Pancasila.
Jelas bahwa manusia diciptakan Allah, SWT sebagai
mahluk yang secara fitrah beriman kepada-Nya. Dijelaskan didalam kitab Alquran
dalal surat Al-Ikhlas, bahwa “Katakanlah
Allah Itu Esa”. Esensinya adalah agama mengajarkan adanya kepercayaan akan
adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala syariat yang harus dilaksanakan
manusia. Pendidikan agama seyogyanya adalah tanggungjawab keluarga sebagai lembaga informal peletak
batu pertma pendidikan. Namun pendidikan agama pada pada perkembangannya tidak
hanya ditentukan oleh keluarga. Disini pengaruh lingkungan masyarakat juga
sangat menentukan. Praktek ditengah masyarakat melalui syiar-syiar agama
merupakan wujud nyata peran masyakat sebagai lembaga pendidikan agama setelah
keluarga. Pendidikan agama juga menjadi perhatian pemerintah lewat Kementerian
terkait. Pemerintah berlandaskan GBHN memasukkan pendidikan agama ke dalam
kurikulum di sekolah mulai SD sampai dengan perguruan tinggi, (Tirtaraharja. U dan La Sulo. S, 2005).
Bahkan banyak lembaga pendidikan yang secara khsusus dalam kurikulumnya memuat
pendidikan agama secara khusu, contohnya pondok pesantren.
Selain nilai keimanan yang merupakan syarat manusia
yang dikatakan sebagai manusia beragama, sila satu Pancasila juga mengajarkan
adanya sikap toleransi dan menghargai antara umat beragama. Melalui pendidikan juga sangat perlu ditekankan adanya rasa saling
menghormati dan toleransi antar sesama umat beragama. Nilai ini menjadi
landasan kedua setelah pentingnya memupuk keimanan sesuia agama masing-masing. Muhammad Athiyah Al-Abrasy memberikan pengertian bahwa “Pendidikan Islam
adalah mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan bahagia,
mencintai tanah air, tegap jasmaninya, sempurna budi pekertinya, teratur
pikirannya, halus perasaannya, cakap dalam pekerjaannya dan manis tutur katanya”,
(http://www.fai.umj.ac.id).
2.
Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab dan Pendidikan
Sila
ini mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang begitu kompleks. Adanya persaamaan
derajat, saling mencintai, serta menjunjung tinggi nilai kemanusiaan adalah
intisari dari penjelasan butir-butir pada sila ini. Pendidikan tidak sekedar
menghasilkan peserta didik yang memiliki wawasan keilmuan yang luas, namun
pendidikan juga diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai kemanusiaan. Jika
kurang perhatian, maka tidak heran kalau pendidikan banyak melahirkan orang
pintar namun tidak memiliki rasa kemanusian. Ia hanya sibuk dengan bagaimana
mencapai kebahagiaan individu dan lupa bahwa disekelilingnya banyak individu
lain yang perlu mendapat perhatian.
Jelas
bahwa kejadian disekeliling kita menunjukan betapa rendahnya rasa kemanusiaan.
Contoh gampang misalnya terjadinya pembunuhan yang dilakukan anak terhadap
orang tua atau sebaliknya. Pendidikan disekolah adalah lembaga formal yang
berperan dalam penanaman nilai kemanusian terkait sila kedua. Minimal pada
praktek pendidikan tidak ada diskriminantif antara sikaya dan simiskin, atau
adanya kesenjangan antara akibat suku, agama dll. Hadirnya sekolah dengan
kulitas tinggi yang hanya bisa diikuti siswa yang mampu sebenarnya salah satu
andil pendidikan menciptakan linturnya nilai-nilai kemanusiaan dalam
pendidikan.
Profesionalisme
pendidik juga sangat dibutuhkan disini, tidak hanya sekedar kemampuan kognitif
aja. Sebagai pendidik harus mampu menanamkan nilai-nilai yang terkandug dalam
sila dua. Pendidik disetiap kesempaatan wajib menanamkan rasa kemanusiaan
kepada peserta didiknya. Perlu dihindari adaanya anak emas ketika mengajar,
karena hal ini akan mendorong ketidak nyamanan pada peserta didik yang lain.
3.
Sila Persatuan Indonesia
dan Pendidikan
Sila
ketiga dari Pancasila terkandung semangat patriotisme yang sudah ditunjukan
oleh para pahlawan dalam heroiknya perjuangan kemerdekaan. Tanpa semangat
patriotisme para pahlawan mustahil bangsa ini bisa menikmati kemerdekaan
sepeeri saat ini. Semangat patrotisme tersebut terinspirasai dari rasa
persatuan, rela berkorban, cinta tanah air dan bangga terhadap bangsa.
Satu
steatmen yang sering kita dengar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang
menghargai sejarah. Pendidikan merupakan
wadah yang sangat tepat memberikan pemahaman kepada peserta didik akan
pentingnta nilai-nilai terkandung pada sila ke tiga ini. Lewat kurikulum yang
memuat pendidikan sejarah sebenarnya implikasi nyata upaya pemerintah untuk
mengenalkan sejarah perjungan para pahlawan yang diilhami sila ketiga.
Sejarah
perjuangan bangsa perlu diketahui untuk dasar menumbuhkan rasa cinta, rela
berkorban, rasa persatuan dan kebanggan terhadap tanah air. Pendidikan formal
menjadi ring pertama yang bisa memberikan wawasan kebangsaan kepada peserta
didik. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa semangat yang terkandung dalam sila ke
tiga ini begitu rendah. Rasa cinta tanah air terganti dengan rasa cinta
terhadap produk luar negeri. Bahkan nama-nama pejuang saja tidak banyak yang
diketahui masyarakat apalagi memahami perjuangan sampai meneruskan amanat
perjuangannya.
4.
Sila Kerakyatan yang Dipimpin Oleh Hikmat permusyawaratan dan
Perwakilan dan Pendidikan
Sila
ke empat mengajarkan kepada kita pentingnya praktek demokrasi dalam kehidupan. Setiap
keputusan yang diambil harus bisa mengakomodir kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan. Musyawarah menjadi cara penting dalam
pengambilan kebijakan yang diperuntukan pada kepentingan orang banyak. Setelah
mengutamakan muswarah maka keputusan tersebut menjadi keputusan yang bisa
dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa serta menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Terkait
dengan sila ini pendidikan pada pelaksanaanya telah banyak berkontribusi
terhadap penitingnya semangat musyawarh yang dilandasi saling menghargai
pendapat. Hadirnya berbagai organisasi siswa seperti OSIS, PMR dll pada
llingkup sekolah, secara nyata memperaktekan semangat sila ke empat ini.
Praktek pengajaran disekolah juga sering menggunakan prinsip sila keempat
seperti diskusi, pembelajaran kooperatif dll.
5.
Sila Kedailan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia dan Pendidikan
Sila
kelima Pancasila merupakan landasan dalam keadilan sosial yang seajarnya
menjadi hak bagi setiap warga negara. Dapat dipahami bahwa manusia adalah mahluk
soial, yang tidak bisa lepas dari berbagai interkasi sosial dalam kehidupan
sehari-hari. Butir-butir dalam sila kelima diantaranya menjelaskan perlunya
pengembangan sikap-sikap luhur cerminan rasa kekluargaan dan kegotong royongan.
Terkait dengan kepribadian sangat penting mengembangkan sikap nyata dalam
menghargai hak dan kewajiban orang lain, suka memberi petrtolongan, menghindari
sikap boros dan mewah. Akhir dari sila ke lima adalah terciptanya stabilitas
sosial yang merupakan komitmen bersama dari masing-masing individu.
Pendidikan
dilihat dari tujuannya terkait sila kelima adalah menciptakan rasa kesetiakawanan nasional. Kesetiakawanan
nasional akan tercipta jika adanya rasa kekeluargaan, tolong menolong, saling
menghargai, dll seperti termuat dalam sila ke lima.
III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.
Asumsi-asumsi filosofi seperti metafisika,
epistemologi dan aksiologi Pancasila mengimplikasi terhadap pendidikan nasional
yang meliputi tujuan pendidikan, isi atau kurikulum pendidikan, metode
pendidikan dan peran pendidik serta peserta didik.
2.
Ideologi Pancasila yang mengandung nilai-nilai
positif karakter bangsa tidak dipraktekan masyarakat dalam kehidupan sehari.
Prilaku yang ditunjukkan masyarakat berbanding terbalik dengan Pancasila itu
sendiri. Hal ini merupakan kegagalan dalam upaya pengkarakteran ideologi
Pancasila ditengah kehidupan.
3.
Upaya pengkarakteran ideologi lewat pendidikan
Pancasila dikatakan gagal karena dinamika pendidikan Pancasila mengikuti trend
kurikulum pendidikan nasional yang berlaku. Pendekatan yang digunakan dalam
pendidikan Pancasila selama ini bersifak kognitif belum menyentuh ranah avektif dan psikomotor.
4.
Tidak adanya suritauladan menyebabkan tidak
ada panutan dalam penerapan ideologi Pancasila dalam kehidupan
sehari-hari.
3.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah ditarik, maka perlu adanya wacana repitalisasi pendidikan Pancasila dalam sistem
pendidikan nasional. Revitalisasi pendidikan Pancasila bisa berupa kebijakan
kurikulum yang diharapkan menjadikan Pancasila sebagai entry poin. Seiring
dengan kebijakan kurikulum, perlu kiranya paradikma pendidikan Pancasila tidak
hanya berkutat pada kawasan kognitif, tapi perlu menyentuh kawasan avektif dan
psikomototik bahkan lebih ke arah humanis.
DAFTAR PUSTAKA
http://sayidiman.suryohadiprojo.com. Hilangnya Pendidikan Pancasila Dari Stuktur Kurikulum KBK dan KTSP oleh : Sardjono. S. Diakses tanggal, 14 October 2008.
Kesuma, D dkk. 2011. Pendidikan Karakter Kajian Teori dan Praktik di Sekolah. Cetakan ke-2. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.
Syah, M. 2010. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Cetakan
ke-16. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya Offset.
Suwarno, W. 2009. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Cetakan ke-3.
Yokyakarta : Ar. Ruzz Media Group.
Tirtarahardja, U dan La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Cetakan ke-2.
Jakarta : PT. Rineka Cipta.
Wahyudin, D. 2010. Buku Materi Pokok Pengantar
Pendidikan. Cetakan ke-9. Jakarta : Universitas Terbuka.
http://www.anakciremai.com.
Makalah Landasan Pendidikan Pancasila. Diakses tanggal, 01 Oktober
2011.
http://www.fai.umj.ac.id. Buku Daras Ilmu Pendidikan Islam (Pengertian, Ruang Lingkup, dan Tujuan Serta Kegunaan Ilmu
Pendidikan Islam).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar